Makalah Pembahasan Tentang Kombinasi Bisnis Menurut PSAK dan IFRS
Makalah
Pembahasan
Tentang Kombinasi Bisnis Menurut PSAK dan IFRS
Untuk
memenuhi salah satu tugas
Mata
kuliah Akuntansi Keuangan Lanjut Dosen pengampu: Sri Wahyu Handayani, SE., MMSI
Disusun
oleh:
Kelompok
4
Fadiyah
Rahma (20220554)
Fajar
Yudha Rahmadani (20220566)
Feby
Diah Ekawati (20220608)
Fian
Nur Dwiansyah (20220616)
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Akuntansi
2022/2023
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring
dengan perkembangan bisnis dalam skala nasional dan internasional, Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) telah mencanangkan dilaksanakannya program konvergensi
International Financial Reporting Standards (IFRS) yang akan diberlakukan
secara penuh pada 1 Januari 2012. Hal ini diputuskan setelah melakukan pengkajian
dan penelaahan yang mendalam dengan mempertimbangkan seluruh risiko dan manfaat
konvergensi terhadap IFRS. Dengan adanya standar global tersebut, memungkinkan
perbandingan dan pertukaran informasi secara universal.
Pengadopsian
standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan
menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi,
persyaratan akan item-item pengungkapan akan semakin tinggi sehingga nilai
perusahaan akan semakin tinggi pula, manajemen akan memiliki tingkat
akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan, laporan keuangan perusahaan
menghasilkan informasi yang lebih relevan dan akurat, dan laporan keuangan akan
lebih dapat diperbandingkan dan menghasilkan informasi yang valid untuk aktiva,
hutang, ekuitas, pendapatan dan beban perusahaan (Petreski, 2005). Perusahaan
pada lebih dari 100 negara telah mengadopsi berbagai International Financial
Reporting Standards (IFRS) untuk tujuan laporan keuangan mereka. Pengadopsian
IFRS juga berlaku di Indonesia. Pengadopsian ini akan berlaku secara penuh pada
tahun 2012 nanti seperti yang dilansir oleh IAI pada saat peringatan HUT nya
yang ke-51. Dengan mengadopsi IFRS, perusahaan-perusahaan di Indonesia
diharapkan dapat meningkatkan daya informasi dari laporan keuangan. Selain itu,
konvergensi IFRS adalah salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai
anggota G20 forum. Dampak penerapan IFRS bagi perusahaan sangat beragam
tergantung jenis industri, jenis transaksi, elemen laporan keuangan yang
dimiliki dan juga pilihan kebijakan akuntansi. Ada yang perubahannya besar
sampai harus melakukan perubahan sistem operasi dan bisnis perusahaan, namun
ada juga perubahan tersebut hanya terkait dengan prosedur akuntansi. Perusahaan
perbankan, termasuk yang memiliki dampak perubahan cukup banyak. Perubahan
tidak hanya dilakukan pada tingkat perusahaan namun perlu juga ada perubahan
peraturan Bank Indonesia contohnya tentang penyisihan atas kredit yang
disalurkan.
Salah
satu poin yang diatur dalam konvergensi IFRS adalah transaksi kombinasi bisnis.
Menurut PSAK 22 revisi tahun 2010, kombinasi bisnis adalah suatu transaksi atau
peristiwa lain dimana pihak pengakuisisi memperoleh pengendalian atas satu atau
lebih suatu bisnis. Transaksi yang juga disebut sebagai “penggabungan
sesungguhnya (true merger)” atau “penggabungan setara (merger of equals)”
merupakan kombinasi bisnis. Transaksi kombinasi bisnis dapat terjadi ketika
suatu entitas memperoleh pengendalian atas entitas lain yang berupa bisnis.
Penggabungan usaha dalam PSAK tahun 1994 didefinisikan sebagai penyatuan dua
atau lebih perusahaan yang terpisah menjadi entitas ekonomi karena kontrol atas
aktiva atau asset dan operasi perusahaan lain, kombinasi bisnis terjadi dengan
kepemilikan hak suara yang memberikan hak pengendalian (Karyawati, 2011: 2).
Dengan
demikian, kombinasi bisnis bisa dilakukan dengan membeli aset neto, perusahaan,
mengambil alih hutang, atau membeli saham perusahaan di atas 50%. Penggabungan
usaha dilakukan untuk memperoleh efisiensi operasi melalui integrasi secara
horizontal atau vertikal atau mendiversifikasikan risiko usaha melalui
konglomerasi (Martani, 2013).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana penggabungan bisnis menurut PSAK dan IFRS?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui penggabungan bisnis menurut PSAK dan IFRS
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Penggabungan bisnis menurut PSAK dan
IFRS
Berdasarkan pernyataan standar akuntansi
keuangan (PSAK) No. 22 paragraf 08 tahun 1999 ”Penggabungan usaha (business
combination) adalah pernyataan dua atau lebih perusahaan yang terpisah menjadi
satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan (uniting with)
perusahaan lain atau memperoleh kendali (control) atas aktiva dan operasi
perusahaan lain”. Pengendalian yang dimaksud adalah kekuasaan untuk mengatur
kebijakan keuangan dan operasi suatu entitas demi memperoleh manfaat dari
aktivitas entitas tersebut. Entitas adalah badan yang terpisah dari pemiliknya.
Kombinasi bisnis melibatkan 2 pihak yaitu entitas pengakuisisi dan entitas yang
diakuisisi.
PSAK
22 telah mengalami revisi yang awalnya tentang Akuntansi Penggabungan Usaha
yang telah dikeluarkan pada tanggal 7 September 1994 menjadi tentang Kombinasi
Bisnis yang disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan pada tanggal 12
Januari 2010. Perbedaan PSAK 22 tahun
1994 dan PSAK tahun 2010 antara lain:
● Pada
PSAK 22 tahun 1994 ruang lingkup yang dibahas kecuali Under Common Control dan ventura bersama. Sedangkan PSAK 22 tahun
2010 yang dibahas kecuali UCC, ventura bersama dan Akuisisi aset
● Pada
PSAK 22 tahun 1994 menggunakan metode pencatatan Purchase dan Polling Of
Interest. Sedangkan, PSAK 22 tahun 2010 menggunakan metode pencatatan
metode akuisisi
● Biaya
akuisisi pada PSAK 22 tahun 1994 menggunakan Komponen harga perolehan.
Sedangkan, PSAK tahun 2010 biaya akuisisi nya dibebankan periode berjalan
● Pengukuran
aset pada PSAK 22 tahun 1994 memadukan sendiri untuk nilai wajar. Sedangkan,
PSAK 22 tahun 2010 pengukuran aset mengikuti SAK lain
● Akuisisi
bertahap pada PSAK 22 tahun 1994 mengukur dengan nilai wajar saat perolehan,
tidak ada penilaian kembali. Sedangkan, pada PSAK 22 tahun 2010 diukur kembali,
selisih diakui laba/rugi
● Non
penggali pada PSAK 22 tahun 1994 berdasarkan nilai tercatat netto. Sedangkan,
PSAK 22 tahun 2010 berdasarkan nilai wajar/porsi aset identifikasi
● Goodwill
pada PSAK 22 tahun 1994 menggunakan goodwill parent, Goodwill positif masih
harus diamortisasi dan juga dialokasikan lewat mekanisme penurunan nilai aset
dan negatif goodwill diakui sebagai kewajiban dengan nama pendapatan yang
ditangguhkan. Sedangkan, PSAK 22 tahun 2010 menggunakan goodwill entity,
goodwil positif tidak diamortisasi cukup dialokasikan lewat mekanisme penurunan
aset, negatif goodwill diakui laba rugi
● Pada
PSAK 22 tahun 1994 dalam kasus penggabungan usaha yang dilakukan lewat akuisisi
saham, kepemilikan tidak mengendalikan hanya dapat diakui sebesar proporsi
besarnya saham yang dimiliki oleh pemegang saham tidak mengendalikan terhadap
jumlah ekuitas. Sedangkan PSAK tahun 2010 kepemilikan tidak mengendalikan,
diakui sebesar nilai wajarnya pada saat akuisisi dilakukan atau sebesar
proporsi besarnya saham yang dimiliki oleh pemegang saham tidak mengendalikan
terhadap jumlah ekuitas
PSAK
22 revisi tahun 2010 mensyaratkan bahwa kombinasi bisnis hanya terjadi jika
satu entitas mengendalikan entitas lain. Pengendalian ini dapat diperoleh
dengan kepemilikan hak suara atas entitas lain. Hak suara biasanya melekat
dalam kepemilikan ekuitas suatu entitas walaupun tidak selalu demikian.
1. Entitas berbadan hukum
Perseroan Terbatas
Hak suara ada pada
kepemilikan saham biasa. Jadi memiliki saham biasa suatu Perseroan Terbatas
berarti memiliki hak suara entitas
tersebut. Jika hak suara yang dimiliki sedemikian besar diperoleh hak
pengendalian dan pada saat itu telah terjadi kombinasi bisnis.
2. Hak suara entitas yang berbadan hukum
selain Perseroan Terbatas
Dapat diperoleh dengan
memiliki ekuitas entitas tersebut. Kepemilikan ekuitas suatu entitas dalam
jumlah tertentu dapat menimbulkan pengendalian atas entitas tersebut, dan hal
itu menunjukkan bahwa telah terjadi kombinasi bisnis.
3.Hak suara entitas yang tidak berbadan hukum
Biasanya diperoleh dengan
kepemilikan ekuitas atau modal entitas tersebut. Entitas yang tidak berbadan
hukum merupakan usaha yang didirikan namun belum memiliki bentuk hukum tetap.
PSAK
22 tahun 2010 menyatakan bahwa setiap Akuisisi dicatat dengan menggunakan
Metode Akuisisi (Acquisition Method) yang mensyaratkan :
●
Pengidentifikasian pihak
pengakuisisi;
● Penentuan
tanggal akuisisi;
● Pengakuan
dan pengukuran aset teridentifikasi yang diperoleh, liabilitas yang
diambil-alih, dan kepentingan non pengendali pihak yang diakuisisi; dan
● Pengakuan
dan pengukuran goodwill atau keuntungan dari pembelian dengan diskon.
Istilah
kombinasi bisnis dalam International Financial Reporting Standards (IFRS) Nomor
3 mulai digunakan setelah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 22
diberlakukan per 1 Januari 2011. IFRS mensyaratkan semua pencatatan didasarkan
pada nilai wajar yang dilakukan menggunakan metode purchase accounting. Hal ini
merupakan efek dari perkembangan standar saat ini yang menekankan pada
principle-based. Standar IFRS lebih menerapkan principle-based daripada
rule-based. Wolk, Dodd, and Rozycki (2008:318) menjelaskan bahwa perkembangan
standar berdasarkan prinsip memberikan kesempatan kepada para akuntan untuk
memutuskan apa yang lebih sesuai dengan kondisi perusahaannya dibandingkan jika
harus mematuhi suatu aturan. Karena implikasi dari memenuhi aturan adalah
justru terjadi penyelewengan karena berusaha mencari celah yang lebih sesuai
bagi perusahaan. Principle based ini merupakan karakteristik dari IFRS.
Sehingga penerapan berdasarkan prinsip lebih merujuk pada pertimbangan
profesional atas perlakuan akuntansi. Dan penggunaan nilai wajar akan lebih
relevan karena lebih mencerminkan nilai pasar. Epstein and Jermakowicz
(2007:400) mengungkapkan bahwa “when a combination is accounted for as an
acquisition, as now virtually always the case, the assets acquired and
liabilities assumed recorded at their perspective values. Using purchasing
accounting.” Ketika kombinasi dilakukan untuk akuisisi, aset dan kewajiban yang
diperoleh dicatat pada nilai perspektifnya. Menggunakan purchasing accounting.
PSAK 22 menyebut istilah metode purchasing accounting dengan metode akuisisi.
PSAK 22 mengadopsi IFRS 3 bahwa saat ini metode yang digunakan dalam pengukuran
nilai wajar aset teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas yang diambil
alih hanyalah menggunakan metode akuisisi.
Dalam
IFRS 3, goodwill lebih merujuk kepada manfaat ekonomi masa depan. Suatu aset
mencerminkan manfaat ekonomi masa depan yang timbul dari aset lainnya yang
diperoleh dalam kombinasi bisnis yang tidak dapat diidentifikasi secara individual
dan diakui secara terpisah. Hal ini berarti, perusahaan pengakuisisi memiliki
suatu perkiraan bahwa perusahaan tersebut memiliki manfaat ekonomi di masa
depan, sehingga pengakuisisi rela membayar biaya perolehan yang lebih tinggi
daripada nilai buku perusahaan yang sebenarnya. Perkiraan ini disebut Scott
sebagai “present value of future abnormal earning” (2003:231). Goodwill yang
timbul mungkin dikembangkan secara internal melalui perkembangan perusahaan
yang baik antara lain loyalitas pelanggan, sumberdaya manusia yang berkualitas,
atau penggunaan aset yang lebih efisien dibandingkan pesaing. Atau, goodwill
dibeli secara keseluruhan ketika satu perusahaan mengakuisisi perusahaan lain
(Jennings, et.al: 2001). Pencatatan goodwill dalam PSAK 22 juga mengikuti
ketentuan bahwa harus dinilai berdasarkan nilai wajar. Sebelumnya, pada PSAK 22
(reformat 2007) pencatatan noncontrolling interest (NCI) dihitung berdasarkan
nilai tercatat (berdasarkan nilai historis) aset dan kewajiban sedangkan saat
ini (PSAK 22 revisi 2010) pencatatan NCI didasarkan pada nilai wajar atau porsi
proporsional aset teridentifikasi (public hearing ED PSAK 22).
IFRS
3 paragraf 32 yang dikutip dalam www.iasplus.com oleh Deloitte (2010) (dan yang
diadopsi oleh PSAK 22 revisi 2010) mengungkapkan bahwa goodwill diukur secara
berbeda antara:
1.
Nilai agregat dari (i)
nilai wajar tanggal akuisisi atas imbalan yang dialihkan (ii) jumlah setiap
kepentingan nonpengendali pada pihak yang diakuisisi, dan (iii) nilai wajar
pada tanggal akuisisi kepentingan ekuitas yang sebelumnya dimiliki oleh pihak pengakuisisi
pada pihak yang diakuisisi.
2. selisih
jumlah dari aset teridentifikasi yang diperoleh dan kewajiban yang diambil-alih
pada tanggal akuisisi.
Imbalan
kontinjensi (contingent consideration) juga terpengaruh akibat penerapan IFRS
3. Publikasi Ernst & Young (2008: 4) menyatakan bahwa pengakuisisi mungkin
berkomitmen untuk memberikan kas, tambahan kepentingan ekuitas, atau aset
lainnya ke pemilik lama setelah tanggal akuisisi jika kejadian tertentu
terpenuhi di masa depan. Pembeli dan penjual umumnya menggunakan perjanjian ini
ketika ada perbedaan pandangan atas nilai wajar bisnis yang diakuisisi. Imbalan
kontijensi menurut definisi IFRS 3 yang diadopsi oleh PSAK 22 (revisi 2010)
lampiran A adalah: “Suatu kewajiban pihak pengakuisisi untuk mengalihkan aset
atau kepentingan ekuitas tambahan kepada pemilik sebelumnya dari pihak yang
diakuisisi sebagai bagian dari pertukaran pengendalian atas pihak yang
diakuisisi jika peristiwa masa depan tertentu terjadi atau kondisi tertentu
terpenuhi. Namun demikian, imbalan kontinjensi dapat juga memberikan hak kepada
pihak pengakuisisi untuk memperoleh kembali imbalan yang dialihkan sebelumnya
jika kondisi tertentu terpenuhi.”
Publikasi
Ernst & Young (2008:4) menerangkan bahwa pengaturan imbalan kontijensi
ketika tanggal akuisisi pada nilai wajar menimbulkan aktiva atau kewajiban.
Pendekatan ini berlaku hanya jika kontinjensi adalah kemungkinan (probable) dan
dapat diukur secara reliabel (pendekatan sebelum IFRS 3 adalah kontinjensi
diakui pada saat kontinjensi diselesaikan tanpa keraguan [publikasi Ernst
&Young, 2007:4]). Pengukuran awal kontinjensi pada nilai wajar kewajiban
didasarkan pada perkiraan pada tanggal akuisisi. Sehingga, kejadian subsequent
yang mempengaruhi imbalan kontijensi tidak lagi merubah goodwill karena sudah
ditetapkan diawal (publikasi Ernst & Young, 2007:5). Sebagai gantinya,
perubahan atas perusahan yang berkombinasi akan dihitung sebagai berikut (IFRS
3 paragraf 58):
1.
Imbalan kontijensi yang
diklasifikasikan sebagai ekuitas tidak diukur kembali, dan penyelesaian
dihitung dalam ekuitas.
2. Imbalan
kontijensi yang diklasifikasikan sebagai aktiva atau kewajiban dalam lingkup
IAS 39 diukur pada nilai wajar, dengan keuntungan atau kerugian yang diakui
baik dalam laba rugi atau ekuitas sesuai dengan IFRS
3. Jika
tidak berada dalam lingkup IAS 39, maka harus dihitung menurut IAS 37 dan IFRS
lain yang sesuai.
Karena
goodwill tidak lagi disesuaikan untuk hasil kontinjensi aktual, maka cara-cara
diatas penting untuk memiliki estimasi yang reliabel atas nilai wajar pada
tanggal akuisisi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa kombinasi bisnis menurut PSAK dengan
ketetapan yang ada yaitu : PSAK 22 revisi tahun 2010
mensyaratkan bahwa kombinasi bisnis hanya terjadi jika satu entitas
mengendalikan entitas lain. Dalam contohnya seperti entitas
berbadan hukum Perseroan Terbatas,
Hak
suara entitas yang berbadan hukum selain Perseroan Terbatas, Hak suara entitas yang
tidak berbadan hukum.
Sedangkan istilah
kombinasi bisnis dalam International Financial Reporting Standards (IFRS) Nomor
3 mulai digunakan setelah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 22
diberlakukan per 1 Januari 2011. IFRS mensyaratkan semua pencatatan didasarkan pada
nilai wajar yang dilakukan menggunakan metode purchase accounting. Hal ini
merupakan efek dari perkembangan standar saat ini yang menekankan pada
principle-based. Standar IFRS lebih menerapkan principle-based daripada
rule-based.
DAFTAR PUSTAKA
https://web.iaiglobal.or.id/assets/files/file_sak/exposure-draft/DE%20AMENDEMEN%20PSAK%2022.pdf
http://fe.budiluhur.ac.id/wp-content/uploads/2014/11/5b-Amilia.pdf
http://iaiglobal.or.id/v03/standar-akuntansi-keuangan/pernyataan-sak-21-psak-22-kombinasi-bisnis
Comments
Post a Comment